Stasiun.


“Lira!!” membentak kepada gadis yang tergesa – gesa berangkat kerja.

“iya nanti kita bicarakan masalah ini setelah saya pulang kerja” membalas membentak
“aku ini pamanmu lira” menunjukkan wajah merahnya.
Tanpa membalasnya Lira berlari ke pintu keluar. Diperjalan menuju stasiun Lira hanya memendam amarah kepada pamannya yang dari dulu hanya membahas gaji yang kurang untuk menghidupinya selam ini.
Di perjalan ke kantor Lira hanya memikirkan kata-kata yang menyakitkan yang keluar dari mulut pamannya itu. Sampai di depan pintu gerbang stasiun Lira membeli tiket dan menuju peron untuk menunggu kereta pagi mengantarkannya ke pusat ibu kota. Di peron Lira melihat preman sedang memalak laki – laki separuh baya dengan nada kasar, dengan terpaksa laki – laki tersebut memberikan beberapa lembar uangnya.
Lira hanya memalingkan wajahnya acuh melihat keadaan disekitarnya. Pikirannya harus sampai dikantor tepat waktu tanpa kena marah dari bos dan potong gaji. Beberapa menit, kereta yang ditunggu dating, lalu bergegas masuk ke dalam gerbong kereta yang mengantarkan dia ke kantor di pusat kota.
Sebelum kerata berangkat preman yang memalak bapak yang di peron tadi masuk ke gerbong yang sama dengan Lira
“Hahaha” Bahak tawa preman berkulit hitam itu “Bagaimana Beni hasil malakku tadi lumayan kan?”
Pemuda yang bernama Beni tadi membalas pertanyaan temannya itu.
“iya bang berani sekali malak di tempat ramai seperti itu”
“iyalah, berani aku malak di depan kantor polisi hahaha”
“Bener bang aku tantang kamu malak di depan kantor polisi hahaha ada-ada saja bang”
“Hari ini kamu belum malak kan?”
Dengan wajah kaget Beni menjawab gemetar.
“Iya, emang ada apa? Abang kan dah malak kan cukup buat makan hari ini”
“Ya gak buat makan hari ini, tunjuk kan lau kamu itu preman sejati masak dari kemaren aku aja yang malak. Gimana kamu tu?”
Tiba-tiba mata preman berkulit hitam itu menunjuk Lira sebagai sasaran Beni untuk dimintai uang. Mata Beni pun mengikuti arah arah mata itu menunjuk.
“Apa cewek?” sambil berbisik ke preman itu “Kenapa cewek bang? Masih banyak penumpang disini” Mengerutkan dahi tak percaya.
“Mang kenapa? Tu ada kakek-kekek di pojok mau? Kamu tu masih blom prefesional dalam memalak. Cepat sana sebelum sampai stasiun berikutnya”
Bergerak mendekati Lira yang sedang asik memandangi pemandangan diluar. Sambil berdegup jantungnya tak percaya harus memalak seorang perempuan apa boleh buat seniornya meminta untuk melakukannya. Lira yang mencium gelagat aneh itu pun memalingkan wajahnya kebelakang. Tanpa ada kesempatan melawan Beni menarik kerah baju Lira dan membanting tubuh kecil Lira ke lantai gerbong sampi kepalanya terluka terkena lantai.
Gubrak.
“Hah apa yang kau lakukan” Berteriak ke arah Beni yang memasang wajah tak tega.
“Berikan uangmu!” nada membentak.
“Kau bisa meminta baik-baik kan? Tanpa membantingku ke lantai” dengan wajah kesal mengambil beberapa uang yang ada didompetnya “ini uang yang aku punya.”
Beni mengambil uang tersebut dan lari ke gerbong lain bersama teman seniornya. Dua menit kemudian sampai di stasiun yang dituju. Bergegas Lira membenarkan bajunya dan keluar menuju tempat kerjanya yang tidak jauh dari stasiun.
Sesampainya di kantor Lira sangat kesal dengan kejadian hari ini. Dirumah bertengkar dengan pamannya yang membesarkannya, di stasiun bertemu dengan dua preman kasar. Waktu menjukkan jam pulang kantor Lira bergegas pulang menuju rumah dengan menaiki keretra sore.
Dirumah terlihat paman duduk sendiri di meja makan ditemani segelas kopi seperti menunggu Lira pulang dari kerja karena saat Lira membuka pintu paman menyambut denngan senyum manis. Lira hanya bisa membalas dengan senyuman dan pertanyaan apa yang terjadi?.
“Lira. Maafkan paman yang terlalu mengungkit – ungkit soal gajimu,” dengan nada menyesal.
“Iya paman. Lira juga minta maaf karena tidak bisa memberikan gaji yang pas buat paman yang telah berjasa membesarkan Lira samapi dewasa.”
Menepuk punggung Lira “Sudah makan belum?. Paman buat nasi goreng buat kamu. Enak lo!”
“Belum paman. Hari ini adalah hari sial dan hari bahagia Lira paman,” berjalan bersama menuju meja makan.
“Kenapa?” mengambilkan piring ke Lira.
“Terima kasih. Tadi ada dua preman malak Lira di stasiun.”
“Apa? kamu tidak apa – apakan?” melihat wajah Lira.
“Tidak apa – apa paman hanya memar sedikit ni di pipi,” menunjuk pipinya yang merah.
Lira sangat merindukan waktu ini yang sudah lama hilang, makan ngobrol bersama dengan pamanannya. Berharap waktu ini tidak akan berakhir. Pamannya sangat menuntut gaji kepada Lira karena utang – utang yang dimilikinya semakin menumpuk. Di meja makan paman menceritakan bahwa Lira tidak berhak untuk melunasi utang – utangnya, karena dia akan mencari pekerjaan untuk melunasi utangnya. Mendengar semua penjelasan pamannya hati kecil Lira sangat bahagia.
Keesokkan hari Lira sedikit malas untuk berangkat kerja. Memikirkan jika bertemu dengan duo preman stasiun itu. Paman mulai mencium keanehan yang terlihat di Lira yang biasanya bersemangat berangkat kerja sekarang jadi malas – malasan.
“Ada apa?.”
“Males paman. Nanti kalau ketemu dengan preman stasiun itu lagi,” membanting sepatunya ke lantai.
“Tidak apa – apa. Nanti berusaha untuk menghindar kalau bertemu dengan mereka.”
“Baiklah,” mengambil tasnya dan mencium tangan paman.
Waktu menunjukkan hampir siang. Lira masih menunggu kereta dengan cemas kalau bertemu preman itu. Kereta yang ditunggu akhirnya datang dengan membawa penumpang yang siap meluncur keluar dari sempitnya gerbong. Lira berjuang memasuki gerbong takut kalau kehabisan bangku kosong. Sesampainya di dalam Lira mendapatkan tempat duduk yang nyaman melihat sekitar suasana sangat tenang berharap tidak terjadi apa – apa. Sebelum harapan Lira berakhir dari belakang terdengar suara tubuh manusia dibanting kelantai dengan keras sontak Lira memalingkan wajah ke belakang.
“Maaf, Bang,” minta ampun ke orang yang membantingnya.
“Minta maaf. Enak bener asal minta maaf. Dasar penghianat,” menunjuk wajah yang babak belur dihajar ramai – ramai dengan temannya.
Mata Lira terbelalak kalau yang terjadi dihadapannnya adalah pertengkaran preman yang kemarin memalaknya. Wajah Lira langsung memaling ke depan pura – pura tidak tahu.
“Mati aku. Kenapa malah jadi kayak gini. Gimana aku keluar dari gerbong ini tanpa ikut permasalahn mereka?” batin Lira berdoa.
“Beraniya kau berkianat denganku?” memegang kerah Beni yang menahan sakit.
“Maaf, Bang. Aku hanya bantu orang itu buat makan kasian sudah sehari tidak makan.”
“Ah hatimu tu halus kenapa jadi preman? jadi babysitter sana saja. Ahahaha.”
Di ikuti suara bahak teman – temannya yang tadi terhibur dengan pertunjukkannya.
Melepasakan kerah baju Beni yang sudah acak – acakkan. Karena tidak tega dengan preman polos ini Lira berlari ke belakang gerbong untuk menolongnya.
Memegang lengan Beni “Tidak apa – apakan?”
Beni terkejut “Ah…tidak apa – apa!”
“Sini aku bantu,” menolongnya berdiri belum sempat berdiri stasiun tujuan Lira sudah sampai.
Beni dicarikan tempat duduk di peron stasiun sekalian keluar dari gerbong. Didudukkan Beni dan diambilkan beberap secarik kertas tisu dari dalam tas Lira.
“Mana yang sakit?” mengusapakan ke pipi Beni yang merah.
“Aduh!” tersentak kesakitan.
“Maaf!”
“Maaf dan terima kasih!” memegang tangan Lira yang dari tadi mengusap – usap pipinya.
“Iya. Sama – sama,” tersenyum.
Tangan Lira di pegangnya mata Lira dipandang dalam oleh Beni. Jantung  Lira yang tadi berdetak kalem berubah menjadi gunjangan yang sangat keras hampir – hampir keluar dari rongga dadanya.
“Kenapa kamu menolongku?”
Lira terdiam. Pipinya yang kemarin mememar terantuk lantai gerbong kearena perbuatan Beni dipegang.
“Apa ini sakit?”
“Sedikit.”
Pandangan pertama Lira kepada Beni adalah laki – laki biasa berubah menjadi laki – laki yang penuh perhatian. Didekatnya wajah Lira dicium keningnya sambil berbicara “Maafkan aku!” mengambil tisu yang ada ditangan Lira dan berlari menuju pintu keluar. Lira hanya terdiam membisu dan tersenyum sendiri tersipu malu.
Lira menceritakan kisah yang aneh ini kepada pamannya. Pamanya hanya tersenyum lucu dan sedikit khawatir yang terjadi dengan keponakan satu – satunya ini.
Keesokkan hari saat Lira akan berangkat kerja. Dia masih membayangkan yang terjadi kemarin. Terbesit keinginan Lira untuk dapat bertemu preman baik hati itu. Ah… tapi Lira membunag jauh keinginan itu karena mengingat apa yang dilakukan yang kemarin kepdanya.
Kereta kesayangan Lira sudah tiba cepat – cepat Lira masuk. Didapati dua kursi kosong yang nyaman untuk duduk. Tiba – tiba dari samping ada suara familiar yang dikenalnya memanggilnya.
“Hai, selamat pagi!” tersenyum ramah.
Memalingkan wajah sudah tahu bahwa itu adalah Beni “Selamat pagi,” dibalas dengan senyum ramah.
“Mau berangkat kerja ya?”
“Iya” melihat dandanan Beni yang sedikit berbeda “Ada apa dengan dandananmu?”
“Hehehe… aku melamar kerja sebagai kasir. Syukurlah aku diterima,” dengan tawa bangga.
“Hahaha…yang penting minta uang ke pelanggan jangan dengan membantingnya.”
Wajah Beni yang tadi bangga menjadi merah padam karena malu disindir oleh Lira.
Pembicaraan mereka sampai stasiun berikutnya tidak hanya stasiun berikutna tetapi hari – hari berikutnya. ~VH~
 

About Me

Foto saya
Je suis juste une fille ordinaire

Nama

Email *

Pesan *

2015 Vicka H & Iin A Blog's. Diberdayakan oleh Blogger.

Member