Sabtu, 27 Desember 2014 |
0
komentar
“Lira!!” membentak kepada gadis yang
tergesa – gesa berangkat kerja.
“iya nanti kita bicarakan masalah ini
setelah saya pulang kerja” membalas membentak
“aku ini pamanmu lira” menunjukkan wajah
merahnya.
Tanpa membalasnya Lira berlari ke pintu
keluar. Diperjalan menuju stasiun Lira hanya memendam amarah kepada pamannya
yang dari dulu hanya membahas gaji yang kurang untuk menghidupinya selam ini.
Di perjalan ke kantor Lira hanya
memikirkan kata-kata yang menyakitkan yang keluar dari mulut pamannya itu.
Sampai di depan pintu gerbang stasiun Lira membeli tiket dan menuju peron untuk
menunggu kereta pagi mengantarkannya ke pusat ibu kota. Di peron Lira melihat
preman sedang memalak laki – laki separuh baya dengan nada kasar, dengan
terpaksa laki – laki tersebut memberikan beberapa lembar uangnya.
Lira hanya memalingkan wajahnya acuh
melihat keadaan disekitarnya. Pikirannya harus sampai dikantor tepat waktu
tanpa kena marah dari bos dan potong gaji. Beberapa menit, kereta yang ditunggu
dating, lalu bergegas masuk ke dalam gerbong kereta yang mengantarkan dia ke
kantor di pusat kota.
Sebelum kerata berangkat preman yang
memalak bapak yang di peron tadi masuk ke gerbong yang sama dengan Lira
“Hahaha” Bahak tawa preman berkulit
hitam itu “Bagaimana Beni hasil malakku tadi lumayan kan?”
Pemuda yang bernama Beni tadi membalas
pertanyaan temannya itu.
“iya bang berani sekali malak di tempat
ramai seperti itu”
“iyalah, berani aku malak di depan
kantor polisi hahaha”
“Bener bang aku tantang kamu malak di
depan kantor polisi hahaha ada-ada saja bang”
“Hari ini kamu belum malak kan?”
Dengan wajah kaget Beni menjawab gemetar.
“Iya, emang ada apa? Abang kan dah malak
kan cukup buat makan hari ini”
“Ya gak buat makan hari ini, tunjuk kan
lau kamu itu preman sejati masak dari kemaren aku aja yang malak. Gimana kamu
tu?”
Tiba-tiba mata preman berkulit hitam itu
menunjuk Lira sebagai sasaran Beni untuk dimintai uang. Mata Beni pun mengikuti
arah arah mata itu menunjuk.
“Apa cewek?” sambil berbisik ke preman
itu “Kenapa cewek bang? Masih banyak penumpang disini” Mengerutkan dahi tak
percaya.
“Mang kenapa? Tu ada kakek-kekek di
pojok mau? Kamu tu masih blom prefesional dalam memalak. Cepat sana sebelum sampai
stasiun berikutnya”
Bergerak mendekati Lira yang sedang asik
memandangi pemandangan diluar. Sambil berdegup jantungnya tak percaya harus
memalak seorang perempuan apa boleh buat seniornya meminta untuk melakukannya. Lira
yang mencium gelagat aneh itu pun memalingkan wajahnya kebelakang. Tanpa ada
kesempatan melawan Beni menarik kerah baju Lira dan membanting tubuh kecil Lira
ke lantai gerbong sampi kepalanya terluka terkena lantai.
Gubrak.
“Hah apa yang kau lakukan” Berteriak ke
arah Beni yang memasang wajah tak tega.
“Berikan uangmu!” nada membentak.
“Kau bisa meminta baik-baik kan? Tanpa
membantingku ke lantai” dengan wajah kesal mengambil beberapa uang yang ada
didompetnya “ini uang yang aku punya.”
Beni mengambil uang tersebut dan lari ke
gerbong lain bersama teman seniornya. Dua menit kemudian sampai di stasiun yang
dituju. Bergegas Lira membenarkan bajunya dan keluar menuju tempat kerjanya
yang tidak jauh dari stasiun.
Sesampainya di kantor Lira sangat kesal
dengan kejadian hari ini. Dirumah bertengkar dengan pamannya yang
membesarkannya, di stasiun bertemu dengan dua preman kasar. Waktu menjukkan jam
pulang kantor Lira bergegas pulang menuju rumah dengan menaiki keretra sore.
Dirumah terlihat paman duduk sendiri di
meja makan ditemani segelas kopi seperti menunggu Lira pulang dari kerja karena
saat Lira membuka pintu paman menyambut denngan senyum manis. Lira hanya bisa
membalas dengan senyuman dan pertanyaan apa yang terjadi?.
“Lira. Maafkan paman yang terlalu
mengungkit – ungkit soal gajimu,” dengan nada menyesal.
“Iya paman. Lira juga minta maaf karena
tidak bisa memberikan gaji yang pas buat paman yang telah berjasa membesarkan
Lira samapi dewasa.”
Menepuk punggung Lira “Sudah makan
belum?. Paman buat nasi goreng buat kamu. Enak lo!”
“Belum paman. Hari ini adalah hari sial
dan hari bahagia Lira paman,” berjalan bersama menuju meja makan.
“Kenapa?” mengambilkan piring ke Lira.
“Terima kasih. Tadi ada dua preman malak
Lira di stasiun.”
“Apa? kamu tidak apa – apakan?” melihat
wajah Lira.
“Tidak apa – apa paman hanya memar
sedikit ni di pipi,” menunjuk pipinya yang merah.
Lira sangat merindukan waktu ini yang
sudah lama hilang, makan ngobrol bersama dengan pamanannya. Berharap waktu ini
tidak akan berakhir. Pamannya sangat menuntut gaji kepada Lira karena utang –
utang yang dimilikinya semakin menumpuk. Di meja makan paman menceritakan bahwa
Lira tidak berhak untuk melunasi utang – utangnya, karena dia akan mencari
pekerjaan untuk melunasi utangnya. Mendengar semua penjelasan pamannya hati
kecil Lira sangat bahagia.
Keesokkan hari Lira sedikit malas untuk
berangkat kerja. Memikirkan jika bertemu dengan duo preman stasiun itu. Paman
mulai mencium keanehan yang terlihat di Lira yang biasanya bersemangat
berangkat kerja sekarang jadi malas – malasan.
“Ada apa?.”
“Males paman. Nanti kalau ketemu dengan
preman stasiun itu lagi,” membanting sepatunya ke lantai.
“Tidak apa – apa. Nanti berusaha untuk
menghindar kalau bertemu dengan mereka.”
“Baiklah,” mengambil tasnya dan mencium
tangan paman.
Waktu menunjukkan hampir siang. Lira
masih menunggu kereta dengan cemas kalau bertemu preman itu. Kereta yang
ditunggu akhirnya datang dengan membawa penumpang yang siap meluncur keluar
dari sempitnya gerbong. Lira berjuang memasuki gerbong takut kalau kehabisan
bangku kosong. Sesampainya di dalam Lira mendapatkan tempat duduk yang nyaman
melihat sekitar suasana sangat tenang berharap tidak terjadi apa – apa. Sebelum
harapan Lira berakhir dari belakang terdengar suara tubuh manusia dibanting
kelantai dengan keras sontak Lira memalingkan wajah ke belakang.
“Maaf, Bang,” minta ampun ke orang yang
membantingnya.
“Minta maaf. Enak bener asal minta maaf.
Dasar penghianat,” menunjuk wajah yang babak belur dihajar ramai – ramai dengan
temannya.
Mata Lira terbelalak kalau yang terjadi
dihadapannnya adalah pertengkaran preman yang kemarin memalaknya. Wajah Lira
langsung memaling ke depan pura – pura tidak tahu.
“Mati
aku. Kenapa malah jadi kayak gini. Gimana aku keluar dari gerbong ini tanpa
ikut permasalahn mereka?” batin Lira berdoa.
“Beraniya kau berkianat denganku?”
memegang kerah Beni yang menahan sakit.
“Maaf, Bang. Aku hanya bantu orang itu
buat makan kasian sudah sehari tidak makan.”
“Ah hatimu tu halus kenapa jadi preman?
jadi babysitter sana saja. Ahahaha.”
Di ikuti suara bahak teman – temannya
yang tadi terhibur dengan pertunjukkannya.
Melepasakan kerah baju Beni yang sudah
acak – acakkan. Karena tidak tega dengan preman polos ini Lira berlari ke
belakang gerbong untuk menolongnya.
Memegang lengan Beni “Tidak apa –
apakan?”
Beni terkejut “Ah…tidak apa – apa!”
“Sini aku bantu,” menolongnya berdiri
belum sempat berdiri stasiun tujuan Lira sudah sampai.
Beni dicarikan tempat duduk di peron
stasiun sekalian keluar dari gerbong. Didudukkan Beni dan diambilkan beberap
secarik kertas tisu dari dalam tas Lira.
“Mana yang sakit?” mengusapakan ke pipi
Beni yang merah.
“Aduh!” tersentak kesakitan.
“Maaf!”
“Maaf dan terima kasih!” memegang tangan
Lira yang dari tadi mengusap – usap pipinya.
“Iya. Sama – sama,” tersenyum.
Tangan Lira di pegangnya mata Lira
dipandang dalam oleh Beni. Jantung Lira
yang tadi berdetak kalem berubah menjadi gunjangan yang sangat keras hampir –
hampir keluar dari rongga dadanya.
“Kenapa kamu menolongku?”
Lira terdiam. Pipinya yang kemarin
mememar terantuk lantai gerbong kearena perbuatan Beni dipegang.
“Apa ini sakit?”
“Sedikit.”
Pandangan pertama Lira kepada Beni
adalah laki – laki biasa berubah menjadi laki – laki yang penuh perhatian.
Didekatnya wajah Lira dicium keningnya sambil berbicara “Maafkan aku!”
mengambil tisu yang ada ditangan Lira dan berlari menuju pintu keluar. Lira
hanya terdiam membisu dan tersenyum sendiri tersipu malu.
Lira menceritakan kisah yang aneh ini
kepada pamannya. Pamanya hanya tersenyum lucu dan sedikit khawatir yang terjadi
dengan keponakan satu – satunya ini.
Keesokkan hari saat Lira akan berangkat
kerja. Dia masih membayangkan yang terjadi kemarin. Terbesit keinginan Lira
untuk dapat bertemu preman baik hati itu. Ah… tapi Lira membunag jauh keinginan
itu karena mengingat apa yang dilakukan yang kemarin kepdanya.
Kereta kesayangan Lira sudah tiba cepat
– cepat Lira masuk. Didapati dua kursi kosong yang nyaman untuk duduk. Tiba –
tiba dari samping ada suara familiar yang dikenalnya memanggilnya.
“Hai, selamat pagi!” tersenyum ramah.
Memalingkan wajah sudah tahu bahwa itu
adalah Beni “Selamat pagi,” dibalas dengan senyum ramah.
“Mau berangkat kerja ya?”
“Iya” melihat dandanan Beni yang sedikit
berbeda “Ada apa dengan dandananmu?”
“Hehehe… aku melamar kerja sebagai
kasir. Syukurlah aku diterima,” dengan tawa bangga.
“Hahaha…yang penting minta uang ke
pelanggan jangan dengan membantingnya.”
Wajah Beni yang tadi bangga menjadi
merah padam karena malu disindir oleh Lira.
Pembicaraan mereka sampai stasiun
berikutnya tidak hanya stasiun berikutna tetapi hari – hari berikutnya. ~VH~